Kamis, 07 Maret 2013

Peran Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik



Peran dan Fungsi Majelis Pertimbangan Kode Etik
a.       Pengertian peran
      Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama. Perilaku individu dalam kesehariannya hidup bermasyarakat berhubungan erat dengan peran. Karena peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani seorang individu dalam bermasyarakat. Sebuah peran harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku juga di masyarakat. Seorang individu akan terlihat  status sosialnya hanya dari peran yang dijalankan dalam kesehariannya.
Pengertian peran menurut para ahli :
1.      SOEKANTO ( 1990 : 268 )
      Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran
2.      R. LINTON
      Peran adalah the dynamic aspect of status. Dengan kata lain seseorang menjalankan perannya sesuai hak dan kewajibannya
3.      MERTON
      Pelengkap hubungan peran yang dimiliki seseorang karena meduduki status sosial tertentu
4.      KING
      Peran merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki posisi dalam sistem sosial
5.      PALAN
      Peran adalah merujuk pada hal yang harus dijalankan seseorang di dalam sebuah tim

      Pengertian majelis etika profesi merupakan  badan perlindungan hukum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hukum. Realisasi Majelis Etika Profesi Bidan (MPEB) Majelis Pembelaan Anggota (MPA). Latar belakang dibentuknya Majelis Pertimbangan Etika Bidan atau MPEB adalah adanya unsur – unsur pihak – pihak terkait :
1.      Pemeriksa pelayanan untuk pasien
2.      Sarana pelayanan kesehatan
3.      Tenaga pemberi pelayanan yaitu bidan
      Majelis Pertimbangan Etika Profesi di Indonesia adalah Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis sesuai :
1.      Kepmenkes RI No. 554/Menkes/Per/XII/1982
      Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan terhadap semua profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
2.      Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1988 Bab V Pasal 11
      Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk.
3.      Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 640/Menkes/Per/X/1991, tentang Pembentukan MP2EPM.
Dasar Majelus Disiplin Tenaga kesehatan (MDTK), adalah sebagai berikut :
·         Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
·         Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
·         Keputusan Presiden Tahun1995 tentang pembentukan MDTK
     



b.      Fungsi majelis pertimbangan
      Tugas dan wewenang MP2EPM wilayah provinsi menurut peraturan Menkes RI No. 640/Menkes/Per/X/1991 dalam buku Sholeh Soeaidy, S.H yang berjudul Himpunan Peraturan Kesehatan.
1.      MP2EPM Propinsi bertugas :
a)      Menerima dan memberi pertimbangan tentang persoalan dalam bidang etik profesi tenaga kesehatan di wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi.
b)      Mengawasi pelaksanaan kode etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya.
c)      Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang berkaitan pada tingkat provinsi.
d)     Memberi nasehat kepada para anggota profesi tenaga kesehatan .
e)      Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif kode etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
f)       Memberi pertimbangan dan saran kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan dalam wilayah provinsi.
2.      MP2EPM provinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehtan Provinsi berwenang memanggil mereka yang bersangkutan dalam suatu persoalan etik profesi tenaga kesehatan untuk diminta keterangannya dengan pemberitahuan pada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi dan kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Tugas dan wewenang MP2EPM wilayah Pusat, yaitu :
a)      Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga kesehatan kepada menteri.
b)      Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan kode etik Kedokteran Indonesia, Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia, Kode Etik Perawat Indonesia, Kode Etik Bidan Indonesia, Kode Etik sarjana Farmasi Indonesia dan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.
c)      Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan dan hukum yang menyangkut kesehatan dan kedokteran.
d)     Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh MP2EPM Propinsi.
e)      Menerima rujukan dalam menangani permasalahan pelanggaran etik profesi tenaga kesehatan.
f)       Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang berkaitan.
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
      Dalam buku Heny Puji Wahyuningsih dituliskan:
a)      Dasar pembentukan majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah sebagai berikut :
·         Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
·         Undang – undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
·         Keputusan Presiden Tahun 1995 tentang pembentukan MDTK.
b)      Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Majelis etika profesi bidan
      Salah satu keputusan Kongres Nasional IBI ke XII di Propinsi Bali tanggal 24 September 1998 adalah kesepakatan agar dalam lingkungan kepengurusan organisasi IBI perlu dibentuk :
1)      Majelis petimbangan Etika Bidan (MPEB)
2)      Majelis Peradilan profesi ( MPA)

      Pelaksanaan tugas bidan dibatasi oleh norma, etika dan agama. Tetapi apabila ada kesalahan dan menimbulkan konflik  etik maka diperlukan wadah  untuk menntukan standar profesi, prosedur yang baku dan kode etik yang di sepakati. Maka perlu di bentuk Majelis Etika Bidan yaitu MPEB dan MPA.
      Tujuan dibentuknya Majelis Etika Bidan adalah untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan objektif kepada bidan dan penerima pelayanan. Tugas Majelis Etika Kebidanan adalah meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh bidan
Lingkup Majelis Etika Kebidanan meliputi :
1)      Melakukan peningkatan fungsi pengetahuan sesuai standar profesi pelayanan bidan(kepmenkes No.900/Menkes/SK/VII/Tahun 2002
2)      Melakukan supervise lapangan termasuk tentang teknis dan pelaksanaan praktik, termasuk penyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan praktik bidan sesuai denagan Standart Praktik Bidan, Standart Profesi dan Standart Pelayanan Kebidanan, juga batas-batas kewenangan bidan.
3)      Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik kebidanan
4)      Melakukan pembinaan dan pelatihan tentang kesehatan khususnya yang berkaitan atau melandasi praktik biadan.
Pengorganisasian majelis etik kebidanan adalah sebagai berikut:
1)      Majelis etik kebidanan merupakan lembaga organisai yang mandiri, otonom dan non structural.
2)      Majelis etik kebidanan dibentuk ditingkat propinsi dan pusat
3)      Majelis etik kebidanan pusat berkedudukan di ibukota negara dan majelis etik kebidanan propinsi berkedudukan di ibu kota propinsi.
4)      Majelis etik kebidanan pusat dan propinsi dibantu oleh sekretaris
5)      Jumlah anggota masing-masing terdiri dari lima orang
6)      Masa bakti anggota majelis etik kebidanan selam tiga tahun dan sesudahnya jika berdasarkan evaluasi masih memenuhi ketentuan yang berlaku maka anggota tersebut dapat dipilih kembali
7)      Anggota majelis etik kebidanan diangkat dan diberhentikan oleh menteri kesehatan
8)      Susunan organisasi majelis etik kebidanan tediri dari:
·         Ketua dengan kualifikasi mempunyai kompetensi tambahan dibidang hukum
·         Sekretaris merangkap anggota
·         Anggota majelis etik bidan
Tugas majelis etik kebidanan adalah sebagai berikut:
1)      Meneliti dan menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standart profesi yang dilakukan oleh bidan
2)      Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien dan keluarga yang dirugikan oleh pelayanan kebidanan
3)      Permohonan secara tertulis dan disertai data-data
4)      Keputusan tingakt propinsi bersifat final dan bisa konsul ke majelis etik kebidanan pada tingkat pusat
5)      Sidang majelis etik kebidanan paling lambat tujuh hari setelah diterima pengaduan. pelaksanaan sidang menghadirkan dan meminta keterangan dari bidan dan saksi-saksi
6)      Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan secara tertulis kepada pejabat yang berwewenang
7)      Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan daerah IBI ditingkat propinsi
      Dalam pelaksanaanya dilapangan sekarangan ini bahwa organisasi profesi bidan IBI, telah melantik MPEB (Pertimbangan Etika Bidan) dan MPA (Majelis Pembelaan Anggota) namun dalam pelaksanaanya belum terealisasi dengan baik.


Permenkes Tentang Registrasi dan Praktik Bidan



A.    Permenkes tentang registrasi dan praktek bidan
1.      Pengertian praktek bidan
            Praktek Kebidanan adalah asuhan yang diberikan oleh bidan secara mandiri baik pada perempuan yang menyangkut proses reproduksi, kesejahteraan ibu dan janin / bayinya, masa antara dalam lingkup praktek kebidanan juga termasuk pendidikan kesehatan dalam hal proses. reproduksi untuk keluarga dan komunitasnya.
            Praktek kebidanan berdasarkan prinsip kemitraan dengan perempuan bersifat holistik dan menyatukannya dengan pemahaman akan pengaruh sosial, emosional, budaya, spiritual, psikologi dan fisik dari pengalaman reproduksinya.
            Praktek kebidanan bertujuan menurunkan / menekan mortalitas dan morbilitas ibu dan bayi yang berdasarkan ilmu-ilmu kebidanan, kesehatan, medis dan sosial untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan ibu dan janin / bayinya.
Permenkes nomor 900/MENKES/SK/VII/2002
            Pasal 1
            Praktik bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga, dan masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya.

2.      Pelaporan dan registrasi
Permenkes nomor 900/MENKES/SK/VII/2002
Pasal 2
(1) Pimpinan penyelenggaraan pendidikan bidan wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi mengenai peserta didik yang baru lulus, selambat lambatnya 1 (satu) bulan setelah dinyatakan lulus.
(2) Bentuk dan isi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Formulir I terlampir.
·         Ketentuan untuk pelaporan peserta didik yang baru lulus ke Dinas Kesehatan provinsi
·         Kewajiban untuk registrasi bagi bidan yang baru lulus
·         Penerbitan SIB oleh kepala Dinas Kesehatan Propinsi
·         Kewajiban untuk kepemilikan SIB termasuk untuk Bidan luar negeri
·         Pembaharuan SIB
Permenkes nomor 1464/MENKES/PER/X/2010
·         Bidan dapat praktik mandiri atau di fasilitas pelayanan kesehatan
·         Minimal pendidikan Bidan adalah dIII kebidanan
·         Kewajiban memiliki SIKB untuk Bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan
·         Kewajiban memiliki SIPB untuk Bidan yang praktik mandiri
·         Kewajiban memiliki STR, SIKB dan SIPB yang di keluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/Kota
·         Kewenangan Bidan untuk hanya menjalankan praktik/ kerja paling banyak 1 tempat kerja dan 1 tempat praktik
·         Masa berlaku SIKB dan SIPB
            Registrasi adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap bidan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan minimal yang ditetapkan sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktik profesinya.
Pasal 3
(1) Bidan yang baru lulus mengajukan permohonan dan mengirimkan kelengkapan registrasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dimana institusi pendidikan berada guna memperoleh SIB selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah menerima ijazah bidan.

(2) Kelengkapan registrasi sebagaimana dimaksud meliputi:
·         fotokopi Ijazah Bidan;
·         fotokopi Transkrip Nilai Akademik
·         surat keterangan sehat dari dokter
·         pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar

(3) Bentuk permohonan SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Formulir II terlampir.
Pasal 4
(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan melakukan registrasi berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk menerbitkan SIB.
(2) SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan, dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima dan berlaku secara nasional.
(3) Bentuk dan isi SIB sebagaimana tercantum dalam Formulir III terlampir.
Pasal 5
(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi harus membuat pembukuan registrasi mengenai SIB yang telah diterbitkan.
(2) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri Kesehatan melalui Sekretariat Jenderal c.q Kepala Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan dengan tembusan kepada organisasi profesi mengenai SIB yang telah diterbitkan untuk kemudian secara berkala akan diterbitkan dalam buku registrasi nasional.
Pasal 6
(1) Bidan lulusan luar negeri wajib melakukan adaptasi untuk melengkapi persyaratan mendapatkan SIB.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada sarana pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk pemerintah.
(3) Bidan yang telah menyelesaikan adaptasi diberikan surat keterangan selesai adaptasi oleh pimpinan sarana pendidikan.
(4) Untuk melakukan adaptasi bidan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melampirkan:
a.      Fotokopi Ijazah yang telah dilegalisir oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi;
b.      Fotokopi Transkrip Nilai Akademik yang bersangkutan.
(6) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menerbitkan rekomendasi untuk melaksanakan adaptasi.
(7) Bidan yang telah melaksanakan adaptasi, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
(8) Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam Formulir IV terlampir.
Pasal 7
(1) SIB berlaku selama 5 Tahun dan dapat diperbaharui serta merupakan dasar untuk menerbitkan SIPB.
(2) Perbaharuan SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dimana bidan praktik dengan melampirkan antara lain:
a.      SIB yang telah habis masa berlakunya
b.      Surat Keterangan sehat dari dokter
c.       Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

3.      Masa bakti
            Masa bakti bidan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.      Wewenang bidan
Kepmenkes 900 tahun 2002
·         Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi:
a.       pelayanan kebidanan
b.      pelayanan keluarga berencana
c.       pelayanan kesehatan masyarakat
·         pasal 15
a.       Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a ditujukan kepada ibu dan anak.
b.      Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas, menyusui, dan masa antara (periode interval).
c.       Pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa bayi, masa anak balita dan masa pra sekolah.
·         Pasal 16
Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi:
a.       penyuluhan dan konseling
b.      pemeriksaan fisik
c.       pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d.      pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamsi ringan dan anemi ringan
e.       pertolongan persalinan normal
f.       pertolongan persalinan abnormal, yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan preterm
g.      pelayanan ibu nifas normal
h.      pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup ratensio plasenta, renjatan, dan infeksi ringan
i.        pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan, perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a.       pemeriksaan bayi baru lahir
b.      perawatan tali pusat
c.       perawatan bayi
d.      resusitasi pada bayi baru lahir
e.       pemantauan tumbuh kembang anak
f.       pemberian imunisasi
g.      pemberian penyuluhan.
·         Pasal 17
            Dalam keadaan tidak terdapat dokter yang berwenang pada wilayah tersebut, bidan dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai dengan kemampuannya.

·         Pasal 18
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaskud dalam Pasal 16 berwenang untuk :
a.       memberikan imunisasi
b.      memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinan, dan nifas
c.       mengeluarkan placenta secara manual
d.      bimbingan senam hamil
e.       pengeluaran sisa jaringan konsepsi
f.       episiotomy
g.      penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II
h.      amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
i.        pemberian infuse
j.        pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika, dan sedative
k.      kompresi bimanual
l.        versi ekstraksi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m.    vacum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
n.      pengendalian anemi
o.      meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p.      resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
q.      penanganan hipotermi
r.        pemberian minum dengan sonde/pipet
s.       pemberian obat-obat terbatas, melalui lembaran permintaan obat sesuai dengan Formulir VI terlampir
t.        pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian.

·         Pasal 19
            Bidan dalam memberikan pelayanan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf b berwenang untuk:
a.       memberikan obat dan alat kontrasepsi oral, suntikan, dan alat kontrasepsi dalam rahim, alat kontrasepsi bawah kulit dan kondom
b.      memberikan penyuluhan/konseling pemakaian kontrasepsi
c.       melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim
d.      melakukan pencabutan alat kontrasepsi bawah kulit tanpa penyulit
e.       memberikan konseling untuk pelayanan kebidanan, keluarga berencana dan kesehatan masyarakat.
·         Pasal 20
            Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan, masyarakat sebagaimana dimaskud dalam pasal 14 huruf c berwenang untuk :
a.       pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan anak
b.      memantau tumbuh kembang anak
c.       melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas
d.      melaksanakan deteksi dini, melaksanakan petolongan pertama, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.
·         Pasal 21
a.       Dalam keadaan darurat bidan berwenang melakukan pelayanan kebidanan selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14.
b.      Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.

5.      Pencatatan dan pelaporan
a.       Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
      Sebagaimana telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan pada bab VI pasal 20 mengenai pencatatan dan pelaporan. Yang mana bunyi pasal tersebut ialah :
·         Pasal 20
1)      Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
2)      Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke Puskesmas wilayah tempat praktik.
3)      Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. 

b.      Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/2002
      Sebagaimana telah ditetapkan oleh Kepmenkes RI NO.900/MENKES/2002  tentang Registrasi dan Praktik Bidan pada bab VI pasal 27 mengenai pencatatan dan pelaporan yang mana bunyi pasal tersebut ialah :
·         Pasal 27
1)      Dalam melakukan tugasnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
2)      Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan ke puskesmas dan tembusan ke kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
3)      Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran IV keputusan ini.

6.      Pembinaan dan pengawasan
a.       Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010
      Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan pada Bab V pasal 20 sampai pasal 24 mengenai pembimbingan dan pengawasan. Yang mana bunyi pasal tersebut ialah :
·         Pasal 20
1)      Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan organisasi profesi.
2)      Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
·         Pasal 21
1)      Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan mengikut sertakan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi, organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan yang bersangkutan.
2)      Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) diarahkan untuk meningkatkan  mutu pelayanan,  keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap  segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
3)      Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota harus melaksanakan pembinaan dan pengawasan  penyelenggaraan praktik bidan.
4)      Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota harus membuat pemetaan tenaga bidan praktik  mandiri dan bidan di desa serta  menetapkan dokter puskesmas terdekat untuk pelaksanaan tugas supervise terhadap bidan di wilayah tersebut.
·         Pasal 22
      Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan yang berhenti  bekerja di fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi. 
·         Pasal  23
1)      Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten / kota dapat memberikan tindakan administrative kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
2)      Tindakan administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
-        Teguran lisan
-        Teguran tertulis
-        Pencabutan SIKB / SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun
-        Pencabutan SIKB / SIPB selamanya.
·         Pasal  24
1)      Pemerintah daerah kabupaten / kota dapat memberikan sanksi berupa rekomendasi pencabutan surat izin / STR kepada kepala dinas kesehatan provinsi / majelis tenaga kesehatan Indonesia ( MTKI ) terhadap bidan yang melakukan praktek tanpa memiliki SIPB atau kerja tanpa memiliki SIKB sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat ( 1 ) dan ( 2 )

2)      Pemerintah daerah  kabupaten / kota dapat mengenakan sanksi teguranlisan, teguran sementara / tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.

b.      Kepmenkes RI NO.900/MENKES/SK/VII/2002
      Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab VIII pasal 31 sampai pasal 41 mengenai pembimbingan dan pengawasan. Yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
·         Pasal 31
1)      Bidan wajib mengumpulkan sejumlah angka kredit yang besarnya ditetapkan oleh organisasi profesi.
2)      Angka kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikumpulkan dari angka kegiatan pendidikan dan kegiatan ilmiah dan pengabdian masyarakat.
3)      Jenis dan besarnya angka kredit dari masing-masing unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh organisasi profesi.
4)      Organisasi profesi mempunyai kewajiban membimbing dan mendorong para anggotanya untuk dapat mencapai angka kredit yang ditentukan.
·         Pasal 32
      Pimpinan sarana kesehatan wajib melaporkan bidan yang melakukan praktik dan yang berhenti melakukan praktik pada saran kesehatannya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi.
·         Pasal 33
1)      Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau organisasi profesi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bidan yang melakukanpraktik diwilayahnya.
2)      Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pemantauan yang hasilnya dibahas secara periodic sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1(satu) tahun.

·         Pasal 34
      Selama menjalankan praktik seorang Bidan wajib mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.

·         Pasal 35
1)      Bidan dalam melakukan praktik dilarang :
-        Menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin praktik.
-        Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi.
2)      Bagi bidan yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a.

·         Pasal 36
1)      Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan peringatan lisan atau tertulis kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap keputusan ini.
2)      Peringatan lisan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dan apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPB bidan yang bersangkutan.

·         Pasal 37
      Sebelum Keputusan pencabutan SIPB ditetapkan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terlebih dahulu mendengar pertimbangan dari Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) atau Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis (MP2EPM) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

·         Pasal 38
1)      Keputusan pencabutan SIPB disampaikan kepada bidan yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak keputusan ditetapkan.
2)      Dalam Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebutkan lama pencabutan SIPB.
3)      Terhadap pencabutan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah Keputusan diterima, apabila dalam waktu 14(empat belas) hari tidak diajukan keberatan, maka keputusan tersebut dinyatakan mempunyai kekuatan hukum tetap.
4)      Kepala Dinas Kesehatan Propinsi memutuskan ditingkat pertama dan terakhir semua keberatan mengenai pencabutan SIPB.
5)      Sebelum prosedur keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditempuh, Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili sengketa tersebut sesuai dengan maksud Pasal 48 Undang undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.

·         Pasal 39
      Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan setiap pencabutan SIPB kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan tembusan kepada organisasi profesi setempat.

·         Pasal 40
1)      Dalam keadaan luar biasa untuk kepentingan nasional Menteri Kesehatan dan/atau atas rekomendasi organisasi profesi dapat mencabut untuk sementara SIPB bidan yang melanggar ketentuan peraturan  perundang - undangan yang berlaku
2)      Pencabutan izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diproses sesuai dengan ketentuan keputusan ini.

·         Pasal 41
1)      Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat membentuk Tim/Panitia yang bertugas melakukan pemantauan pelaksanaan praktik bidan di wilayahnya.
2)      Tim/Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, Ikatan Bidan Indonesia dan profesi kesehatan terkait lainnya.

7.      Ketentuan pidana
a.       Kepmenkes RI NO.900/MENKES/SK/VII/2002
      Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab IX pasal 42 sampai pasal 44 mengenai ketentuan pidana yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
·         Pasal 42
Bidan yang dengan sengaja :
1)      Melakukan praktik kebidanan tanpa mendapat pengakuan / adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan/atau
2)      Melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
3)      Melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

·         Pasal 43
      Pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai izin praktik dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

·         Pasal 44
1)      Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. Bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam keputusan ini dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin.
2)      Pengambilan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8.      Ketentuan peralihan tentang surat tugas dan izin praktek
a.       Kepmenkes RI NO. 1464/Menkes/X2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktek bidan pada Bab VI pasal 25 sampai pasal 28 mengenai ketentuan peralihan tentang surat penugasan dan ijin praktek. Yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
·         Pasal 25
1)      Bidan yang telah mempunyai SIPB berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor  900 / Menkes / SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/149/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dinyatakan telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan ini sampai dengan masa berlakunya berakhir.
2)      Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperbaharui SIPB apabila Surat Izin Bidan yang bersangkutan telah habis jangka waktunya berdasarkan peraturan ini. 

·         Pasal 26
      Apabila Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) belum dibentuk dan / atau belum dapat melaksanakan tugasnya. Maka registrasi bidan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan. 

·         Pasal 27
      Bidan yang telah melaksanakan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum ditetapkan peraturan ini harus memiliki SIKB berdasarkan peraturan ini paling selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak peraturan ini ditetapkan.

·         Pasal 28
      Bidan yang berpendidikan di bawah Diploma III (D III) Kebidanan yang menjalankan praktik mandiri harus menyesuaikan dengan ketentuan peraturan ini selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak peraturan ini ditetapkan. 

b.      Kepmenkes RI NO.900/MENKES/SK/VII/2002
            Kepmenkes RI NO. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan pada Bab XI pasal 45 mengenai ketentuan perlihan yang mana bunyi pasal tersebul ialah :
·         Pasal 45
1)      Bidan yang tidak mempunyai surat penugasan dan SIPB berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan no 572/Menkes/Per/VI/1996 tentang registrasi dan praktek bidan dianggap telah memiliki SIB dan  SIPB berdasarkan ketentuan.
2)      SIB dan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan apabila telah habis maka masa berlakunya dapat di perbaharui sesuai ketentuan keputusan ini.