A. Mendeteksi adanya komplikasi persalinan kala III dan cara
mengatasinya
Perdarahan pasca persalinan
secara tradisional ialah perdarahan yang melebihi 500 cc pada kala III.
Perdarahan pasca persalinan sekarang dapat di bagi menjadi:
a. Perdarahan
pascapersalinan dini adalah perdarahan 7,500 cc pada 24 jam pertama setelah
persalinan
b. Perdarahan
pascapersalinan lambat ialah perdarahan 7,500 cc setelah 24 jam persalinan
Perdarahan pasca persalinan
merupakan penyebab penting kematian ibu. 1/4 dari kematian ibu disebabkan oleh
perdarahan pasca persalinan tidak menyebabkan kematian. Kejadian ini sangat
mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia akan menurunkan daya tekan tubuh
sehingga sangat penting untuk mencegah perdarahan yang banyak.
1.
Atonia uteri
Atonia uteri
adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan
fundus uteri ( placenta telah lahir ). (
depkes Jakarta : 2002 )
Atonia uteri
adalah kegagalan serabut – serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan
memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting
dan bisa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan.
Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada
terjdainya syok hipovolemik.
Diagnosis atonia
uteri yaitu bila setelah bayi dan placenta lahir ternyata pendarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lebih lembek.
Pada umumnya
penyebab atonia uteri antara lain :
a.
Partus lama : kelemahan
akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah, cenderung berkontraksi lemah
setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan akibat
kekurangan darah.
b.
Pembesaran
uterus atau overdistension yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada
kehamilan kembar, hidramnion atau janin besar
c.
Multipara
dengan jarak kelahiran pendek : uterus yang lemah banyak melahirkan anak
cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
d.
Umur yang terlalu muda atau
terlalu tua
e.
Faktor sosio ekonomi : malnutrisi
f.
Bisa juga karena salah
penanganan dalam usaha melahirkan placenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas
dari placenta
g.
Kelainan pada uterus : Miomauteri
dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu retraksi dan kontraksi
miometrium, uterus couvelair pada solution placenta
h.
Ibu dengan keadaan umum yang
tidak baik, seperti anemis atau menderita penyakit yang menahun.
Tanda dan gejala dari atonia uteri adalah :
a.
Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat
banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar
disertai gumpalan. Hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak lagi
sebagai anti pembeku darah.
b. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala
terpenting atau khas atonia uteri dan yang membedakan atonia dengan penyebab
perdarahan yang lainnya.
c.
Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah
yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal
d.
Terdapat tanda – tanda syok
Tekanan darah rendah,
denyut nadi cepat dan kecil, ektremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain
Pencegahan atonia uteri
a.
Melakukan secara rutin
manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat
menurunkan insidens perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri
b.
Pemberian misoprostol
peroral 2 – 3 tablet ( 400 – 600 μg ) segera setelah bayi lahir.
c.
Pemberian oksitosin rutin
pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum lebih dari 40 % dan
juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif
kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dala persalinan, anemia dan
kebutuhan transfuse darah
Kegunaan utama
oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat dan tidak
menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pemberian oksitosin pada manajemen kala III setelah bayi lahir.
Aktif protocol yaitu pemberian 10 unit IM , 5 unit IV bolus atau 10 – 20 unit
per liter IV drip 100 – 150 cc/jam
d.
Pemberian karbetosin.
Merupakan obat long – acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40
menit dibandingkan oksitosin 4 – 10 menit. Penelitian di Canada membandingkan
antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang
melakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibandingkan
oksitosin.
Penatalaksanaan / pengobatan atonia uteri
a.
Bersihkan
semua gumpalan darah atau membran yang mungkin berada di dalam mulut uterus
atau di dalam uterus
b.
Segera
mulai melakukan kompresi bimanual interna.
c.
Jika uterus
sudah berkontraksi, lanjutkan memantau ibu secara ketat
d.
Jika uterus
tidak berkontraksi setelah 5 menit, minta anggota keluarga melakukan bimanual
interna sementara penolong memberikan metergin 0,2 mg IM dan mulai memberikan
IV (RL dengan 20 UI oksitosin/500 cc dengan tetesan cepat).
e.
Jika uterus
masih juga belum berkontraksi mulai lagi kompresi bimanual interna setelah anda
memberikan injeksi metergin dan sudah mulai IV
f.
Jika uterus
masih juga belum berkontraksi dalam 5-7 menit, bersiaplah untuk melakukan
rujukan dengan IV terpasang pada 500 cc/jam hingga tiba di tempat r ujukan atau
sebanyak 1,5 L seluruhnya diinfuskan kemudian teruskan dengan laju infus 125
cc/jam.
Manajemen atonia uteri
a.
Resusitasi
Apabila terjadi pendarahan postpartum banyak, maka
penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu
dilakukan untuk persiapan tranfusi darah.
b.
Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi
uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah
lahirnya placenta maksimal 15 detik. Jika uterus berkontraksi maka lakukan
evaluasi. Jika uterus berkontraksi namun perdarahan tetap berlangsung, periksa
apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi.
c.
Uterotonika
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15
metil prostaglandin. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal,
transvaginal, intravenous, IM, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg
yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara
rectal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan postpartum ( 5 tablet 200 μg = 1 g ).
d.
Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan
angka keberhasilan 80 - 90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika
dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk
melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang
sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial
vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum
lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan
ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah
diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa
uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus
mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan
cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
2.
Retensio placenta
Retensio
placenta adalah tertahannya placenta atau belum lahirnya placenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir ( Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, 2002:178 ).
Retensio placenta
adalah terlambatnya kelahiran placenta selama setengah jam setelah kelahiran
bayi.
Retensio
placenta adalah placenta yang tidak terpisah dan menimbulkan hemorrhage yang
tidak tampak dan juga disadari pada lamanya waktu yang berlalu antara kelahiran
bayi dan keluarnya placenta yang diharapkan.beberapa ahli klinik menangani
setelah 5 menit. Kebanyakan bidan akan menunggu satu setengah jam bagi placenta
untuk keluar sebelum menyebutnya untuk tertahan (Varney’s, 2007).
Jenis – jenis retensio placenta :
a. Placenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion
placenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Placenta akreta adalah implantasi jonjot korion placenta hingga
memasuki sebagian lapisan miometrium.
c. Placenta inkreta adalah implantasi jonjot korion placenta hingga
mencapai / memasuki miometrium.
d. Placenta perkreta adalah implantasi jonjot korion placenta yang
menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus .
e. Placenta inkarserata adalah tertahannya placenta di dalam kavum
uteri, disebabkan oleh konstruksi ostium uteri.
Predisposisi retensio plasenta
a. Grandemultipara
b. Bekas operasi pada uterus
c. Plasenta previa karena dibagian ishmus uterus,
pembuluh darah sedikit sehingga perlu masuk jauh kedalam
d. Kehamilan ganda, sehingga memerlukan
implantasi plasenta yang
sedikit luas
e. Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya
tipis
Penyebab
retensio placenta
a. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b. Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan ( disebabkan
karena tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala
III )
c. Plasenta melekat erat pada dinding
uterus oleh sebab vili korealis menembus desidua sampai miometrium sampai
dibawah peritoneum ( plasenta akreta-perkreta )
d. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan
plasenta
Gambaran dan dugaan penyebab retensio placenta
Gejala
|
Separasi
/ akreta parsial
|
Plasenta
inkarserata
|
Plasenta akreta
|
Konsistensi uterus
|
Kenyal
|
Keras
|
Cukup
|
Tinggi fundus
|
Sepusat
|
2 jari
bawah pusat
|
Sepusat
|
Bentuk fundus
|
Diskoid
|
Agak
globuler
|
Diskoid
|
Perdarahan
|
Sedang-banyak
|
Sedang
|
Sedikit / tidak ada
|
Tali pusat
|
Terjulur
sebagian
|
Terjulur
|
Tidak terjulur
|
Ostium uteri
|
Terbuka
|
Konstriksi
|
Terbuka
|
Separasi plasenta
|
Lepas
sebagian
|
Sudah lepas
|
Melekat seluruhnya
|
Syok
|
Sering
|
Jarang
|
Jarang sekali
|
Tanda dan gejala retensio placenta
Gejala
yang selalu ada adalah plasenta belum lahir dalam 30 menit, perdarahan segera kontraksi
uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu tali pusat putus akibat
traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan. Tertinggalnya
plasenta (sisa plasenta). Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian
selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera. Gejala
yang kadang-kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi tetapi tinggi fundus
tidak berkurang.
Penanganan retensio placenta secara umum
a. Jika placenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan
dan jika merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut
b. Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika diperlukan lakukan
kateterisasi kandung kemih
c. Jika placenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit 1 M, jika
belum dilakukan pada kala III
d. Jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi
uterus yang tonik yang bisa memperalmbat pengeluaran placenta
e. Jika placenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian
oksitosin dan uterus terasa berkontraksi lakukan penarikan tali pusat
terkendali
f. Jika traksi pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk mengeluarkan plasenta secara manual. Jika
perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan
terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat
pecah dengan mudah menunjukan koagulapati
g. Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, secret
vagina yang berbau), berikan antibiotik untuk metritis.
Penanganan
retensio placenta
a. Tentukan jenis retensio yang terjaid karena
berkaitan dengan tindakan yang di ambil.
b. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk
mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi coba traksi terkontrol tali
pusat.
c. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL
dengan 40 tetes permenit. Bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per
rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri).
d. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan
plasenta, lakukan manual palsenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari
terjadinya perforasi dan perdarahan.
e. Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan.
f. Berikan antibiotika profilaksis (ampisislin 2 g
IV / oral + metronidazole 1 g supositoria/oral).
g.
Segera atasi bila terjadi
komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.
3. Perlukaan jalan lahir
Perlukaan jalan lahir merupakan perlukaan yang terjadi pada
jalan lahir saat atau setelah terjadinya persalinan yang biasanya ditandai oleh
perdarahan pada jalan lahir.
Perlukaan jalan lahir karena prsalinan dapat mengenai vulva, vagina, dan uterus. Janis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang disertai perdarahan hebat. (Prawirohardjo S, 2008: 409)
Perlukaan jalan lahir karena prsalinan dapat mengenai vulva, vagina, dan uterus. Janis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang disertai perdarahan hebat. (Prawirohardjo S, 2008: 409)
a. Robekan perineum
Robekan perineum
terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis
lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan
ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Biasanya robekan perineum terjadi pada :
·
Kepala janin terlalu cepat
lahir
·
Persalinan tidak dipimpin
sebagaimana mestinya
·
Sebelumnya pada perineum terdapat
banyak jaringan perut
·
Pada persalinan dengan
distosia bahu
Robekan perineum dibagi
menjadi 3 bagian :
·
Tingkat I : robekan hanya
terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenal kulit perineum
sedikit
·
Tingkat II : robekan yang
terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput lendir vagina juga mengenai
muskulus perineum transversalistapi tidak mengenai sfinkter ani
Jika ada pinggir yang
bergerigi atau tidak rata, maka pinggir itu harus diratakan terlebih dahulu.
Mula – mula otot dijahit dengan cagut kemudian selaput lendir vagina dijahit
dengan cagut secara terputus- putus atau jelujur. Penjahitan dimulai dari
puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit secara terputus – putus
·
Tingkat III : robekan yang
terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot- otot sfingter ani
Mula – mula dinding depan
rectum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia reptu
rektovaginal dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali
Robekan
perineum terbagi atas 4 derajat :
·
Derajat I : mukosa vagina, fauchette posterior,
kulit perineum
·
Derajat II : mukosa vagina, fauchette posterior, kutit perineum,
otot perineum
·
Derajat III : mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum,
otot perineum, otot spinter ani eksterna
·
Derajat IV : mukosa vagina, fauchette
posterior, kulit perineum, oto perineum, otot spinter ani eksterna, dinding
rectum anterior
b. Robekan serviks
Robekan serviks paling
sering terjadi pada jam 3 dan 9 bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit
dengan klem fenster kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan
letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut
kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
Robekan serviks dapat terjadi karena :
·
Partus presipitatus
·
Trauma karena pemakaian alat
– alat operasi
·
Melahirkan kepala janin pada
letak sunsang secara paksa padahal pembukaan serviks uteri belum lengkap
·
Partus lama. Dimana telah
terjadi serviks edem, sehingga jaringan serviks sudah menjadi rapuh dan mudah
robek.
Teknik
menjahit robekan serviks
·
Pertama – tama pinggir
robekan sebelah kiri dan kanan dijepit dengan klem sehingga perdarahan menjadi
berkurang dan berhenti
·
Kemudian serviks ditarik
sedikit sehingga lebih jelas kelihatan dari luar
·
Setelah itu robekan dijahit
dengan catgut khromik no 00 atau 000. Jahitan dimulai dari ujung robekan dengan
cara jahitan terputus – putus atau jahitan angka delapan
·
Pada robekan yang dalam
jahitan harus dilakukan lapis demi lapis
c. Rupture uteri
Rupture uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam
bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada rupture uteri
yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum
abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah
robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang mio
metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus
macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salah satu diagnosis banding
apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah
diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai
kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.
Gejala rupture uteri yaitu hs kuat dan terus menerus, rasa
nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah /
takut, nadi dan pernapasan cepat. Setelah itu dijumpai gejala syok, perdarahan,
pucat, tekanan darah turun
Jenis rupture uteri
·
Rupture uteri spontan :
terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada waktu persalinan yaitu pada
kelainan letak dan presentasi janin, panggul smepit, kelainan panggul, tumor
jakan lahir.
·
Rupture uteri traumati
·
Terjajadi karena ada
dorongan pada uterus misalnya fundus akibat melahirkan dengan cunam, manual
palcenta
·
Rupture uteri jaringan parut:
terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti bekas SC
·
Pembagian menurut anatomic
Ruptur uteri komplit :
dimana dinding uterus robek, lapisan serosa ( peritoneum ) robek sehingga janin
dapat berada dalam rongga perut
Ruptur uteri inkomplit :
dinding uterus robek tapi lapisan serosa tetap utuh
Penanganan pada ruptu uteri
:
·
Melakukan laparatomi.
Sebelumnya penderita diberi transfuse darah sekurang – kurangnya infuse RL
untuk mencegah syok hipovolemik
·
Umumnya histerektomi
dilakukan setelah janin yang berada didalam rongga perut dikeluarkan.
Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus – kasus khusus, dimana
pinggir robekan masih segar dan rata serta tidak terlihat adanya tanda – tanda
infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan nekrosis.
B. Tindakan _ tindakan kala III
1. Kompresi bimanual interna
Kompresi Bimanual Interna adalah tangan kiri penolong dimasukan
ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakan pada forniks anterior
vagina. Tangan kanan diletakan pada perut penderita dengan memegang fundus
uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain
di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan antara
lain, yaitu tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian
menekannya terhadap tangan kiri.
Langkah – langkah :
·
Pakai sarung tangan DTT atau
steril dengan lembut masukkan secara obstetric ( menyatukan kelima ujung jari )
melalui introitus dan ke dalam vagina kemudian periksa vagina dan serviks. Jika
ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin hal ini
menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh
·
Setelah seluruh tangan telah
masuk, kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding
uterus kea rah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus
kea rah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang
·
Tekan kuat uterus diantara
kedua tangan, kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh
darah yang tebuka ( bekas implantasi placenta ) di dinding uterus dan juga
merangsang myometrium untuk berkontraksi
·
Kepalkan tangan dalam dan
tempatkan pada forniks anterior tekan dinding anterior uterus ke arah tangan
luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus kearah depan sehingga
uterus ditekan dari arah depan dan belakang
2. Kompresi bimanual eksterna
Kompresi bimanual
eksterna merupakan tindakan yang efektif untuk mengendalikan perdarahan
misalnya akibat atonia uteri. Kompresi bimanual ini diteruskan sampai uterus
dipastikan berkontraksi dan perdarahan dapat dihentikan. Ini dapat di uji
dengan melepaskan sesaat tekanan pada uterus dan kemudian mengevaluasi
konsistensi uterus dan jumlah perdarahan. Penolong dapat menganjurkan pada
keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna sambil penolong melakukan
tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan atonia uteri.
Langkah – langkah:
·
Letakan satu tangan pada
dinding abdomen dan dinding depan corpus uteri dan diatas simpisis pubis
·
Letakan tangan lain pada
dinding abdomen dan dinding belakang corpus uteri sejajar dinding depan corpus
uteri. Usahakan untuk mencakup atau memegang bagian uterus seluas mungkin
·
Lakukan kompresi uterus
dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuluh darah
dalam anyaman myometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini dapat menjepit
pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk berkontraksi
3. Kompresi aorta
Langkah – langkah :
·
Baringkan ibu diatas
ranjang, penolong menghadap sisi kanan pasien. Atur posisi penolong sehingga
pasien berada pada ketinggian yang sama dengan pinggul penolong.
·
Tungkai diletakkan pada
dasar yang rata (tidak memakai penopang kaki) dengan sedikit fleksi pada
artikulasio koksae.
·
Raba pulsasi arteri
femoralis dengan jalan meletakkan ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanan
pada lipat paha yaitu pada perpotongan garis lipat paha dengan garis horisontal
yang melalui titik 1 cm diatas dan sejajar dengan tepi atas simfisis ossium
pubis. Pastikan pulsasi arteri teraba dengan baik.
·
Setelah pulsasi dikenali,
jangan pindahkan kedua ujung jari dari titik pulsasi tersebut.
·
Kepalkan tangan kiri dan
tekankan bagian punggung jari telunjuk, tengah, manis dan kelingking pada
umbilikus ke arah kolumna vertebralis dengan arah tegak lurus.
·
Dorongan kepalan tangan
kanan akan mengenai bagian yang keras di bagian tengah/ sumbu badan ibu dan
apabila tekanan kepalan tangan kiri mencapai aorta abdominalis maka pulsasi
arteri femoralis (yang dipantau dengan ujung jari telunjuk dan tengah tangan
kanan) akan berkurang/ terhenti (tergantung dari derajat tekanan pada aorta).
·
Perhatikan perubahan
perdarahan pervaginam ( kaitkan dengan perubahan pulsasi arteri femoralis )
Perhatikan :
a) Bila perdarahan berhenti sedangkan uterus tidak berkontraksi
dengan baik, usahakan pemberian preparat prostatglandin. Bila bahan tersebut
tidak tersedia atau uterus tetap tidak dapat berkontraksi setelah pemberian
prostatglandin, pertahankan posisi demikian hingga pasien dapat mencapai
fasilitas rujukan.
b)
Bila kontraksi membaik
tetapi perdarahan masih berlangsung maka lakukan kompresi eksternal dan
pertahankan posisi demikian hingga pasien mencapai fasilitas rujukan.
c) Bila kompresi sulit untuk dilakuakan secara terus menerus maka
lakukan pemasangan tampon padat uterovaginal, pasang gurita ibu dengan kencang
dan lakukan rujukan.
d) Kompresi baru dilepaskan bila perdarahan berhenti dan uterus
berkontraksi dengan baik. Teruskan pemberian uterotonika
·
Bila perdarahan berkurang
atau berhenti, pertahankan posisi tersebut dan lakukan pemijatan uterus (oleh
asisten) hingga uterus berkontraksi dengan baik.
4. Manual placenta
Plasenta manual adalah
tindakan untuk melepas plasenta secara manual (menggunakan tangan) dari tempat
implantasinya dan kemudian melahirkannya dari cavum uteri.
Langkah – langkah
·
Persiapan: pasang set dan
cairan infuse. Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan, lanjutkan
anastesia verbal atau analgesia per rektal, siapkan dan jelaskan prosedur
pencegahan infeksi
·
Tindakan penetrasi ke dalam
kavum uteri: pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong, jepit tali pusat
dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar
lantai
·
Secara obstetrik masukkan
tangan lainnya ( punggung tangan menghadap ke bawah ) kedalam vagina dengan
menelusuri sisi bawah tali pusat, setelah mencapai bukaan serviks, kemudian
minta seorang asisten / penolong lain untuk memegangkan klem tali pusat
kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
·
Sambil menahan fundus uteri,
masukkan tangan kedalam hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi
plasenta. Bentangkan tangan obstetric menjadi datar seperti memberi dalam (ibu
jari merapat ke jari telunjuk dan
jari-jari lain merapat), tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta
paling bawah. Bila plasenta berimplentasi di korpus belakang, tali pusat tetap
disebalah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan
dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu).
·
Bila di korpus depan maka
pindahkan tangan kesebalah atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan
diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke atas
(anterior ibu), setelah ujung-ujung jari masuk diantara palsenta dan dinding
uterus maka perluasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke tangan kiri
sambul geserkan ke atas (cranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas
dari dinding uterus
·
Sementara satu tangan masih
didalam kavum uteri lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang
tertinggal
·
Pindahkan tangan luar dari
fundus ke supra simpisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian intruksikan
asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan membawa plasenta keluar
(hindari adanya percikan darah)
·
Lakukan penekanan (dengan
tangan yang menahan supra simpisis) uterus ke arah dorso kranial setelah
plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta dalam wadah yang telah disediakan.
·
Lakukan tindakan pencegahan
infeksi dengan cara dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan
peralatan lain yang digunakan, lepaskan dan rendam sarng tangan dan peralatan
lainnya didalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit, cuci tangan dengan sabun
dan air bersih mengalir, keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering
·
Lakukan pemantauan pasca
tindakan, pastikan tanda vital ibu, catat kondisi ibu, dan buat laporan
tindakan, tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan
asuhan lanjutan, beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai
tapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan, lanjutan pemantauan
ibu hingga 2 jam pasca tindakan sebelum pindah ke ruang rawat gabung
Catatan :
a) Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta
berada pada dataran yang sama tinggi dengan dinding uterus maka hentikan upaya
plasenta manual karena hal itu menunjukkan plasenta inkreta (tertanam dalam
miometrium).
·
Bila hanya sebagian dari
implantasi plasenta dapat dilepaskan dan bagian lainnya melekat erat maka
hentikan pula plasenta manual karena hal tersebut adalah plasenta akreta. Untuk
keadaan ini sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan (miso[rostol 600 mcg per
rektal) sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar