Selasa, 05 Maret 2013

Komplikasi Persalinan Kala III Dan Tindakan Kala III



A.    Mendeteksi adanya komplikasi persalinan kala III dan cara mengatasinya
      Perdarahan pasca persalinan secara tradisional ialah perdarahan yang melebihi 500 cc pada kala III.
Perdarahan pasca persalinan sekarang dapat di bagi menjadi:
a.       Perdarahan pascapersalinan dini adalah perdarahan 7,500 cc pada 24 jam pertama setelah persalinan
b.      Perdarahan pascapersalinan lambat ialah perdarahan 7,500 cc setelah 24 jam persalinan
      Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab penting kematian ibu. 1/4 dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan tidak menyebabkan kematian. Kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia akan menurunkan daya tekan tubuh sehingga sangat penting untuk mencegah perdarahan yang banyak.

1.      Atonia uteri
            Atonia uteri adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri  ( placenta telah lahir ). ( depkes Jakarta : 2002 )
            Atonia uteri adalah kegagalan serabut – serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan bisa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjdainya syok hipovolemik.
            Diagnosis atonia uteri yaitu bila setelah bayi dan placenta lahir ternyata pendarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lebih lembek.



            Pada umumnya penyebab atonia uteri antara lain :
a.       Partus lama : kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim yang lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan akibat kekurangan darah.
b.      Pembesaran uterus atau overdistension yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada kehamilan kembar, hidramnion atau janin besar
c.       Multipara dengan jarak kelahiran pendek : uterus yang lemah banyak melahirkan anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.
d.      Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
e.       Faktor sosio ekonomi : malnutrisi
f.       Bisa juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan placenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas dari placenta
g.      Kelainan pada uterus : Miomauteri dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu retraksi dan kontraksi miometrium, uterus couvelair pada solution placenta
h.      Ibu dengan keadaan umum yang tidak baik, seperti anemis atau menderita penyakit yang menahun.

Tanda dan gejala dari atonia uteri adalah :
a.       Perdarahan pervaginam
            Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan. Hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak lagi sebagai anti pembeku darah.
b.      Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting atau khas atonia uteri dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
c.       Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal
d.      Terdapat tanda – tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ektremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain

Pencegahan atonia uteri
a.       Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri
b.      Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet ( 400 – 600 μg ) segera setelah bayi lahir.
c.       Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum lebih dari 40 % dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dala persalinan, anemia dan kebutuhan transfuse darah
      Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pemberian oksitosin  pada manajemen kala III setelah bayi lahir. Aktif protocol yaitu pemberian 10 unit IM , 5 unit IV bolus atau 10 – 20 unit per liter IV drip 100 – 150 cc/jam
d.      Pemberian karbetosin. Merupakan obat long – acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4 – 10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang melakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibandingkan oksitosin.
Penatalaksanaan / pengobatan atonia uteri
a.       Bersihkan semua gumpalan darah atau membran yang mungkin berada di dalam mulut uterus atau di dalam uterus
b.      Segera mulai melakukan kompresi bimanual interna.
c.       Jika uterus sudah berkontraksi, lanjutkan memantau ibu secara ketat
d.      Jika uterus tidak berkontraksi setelah 5 menit, minta anggota keluarga melakukan bimanual interna sementara penolong memberikan metergin 0,2 mg IM dan mulai memberikan IV (RL dengan 20 UI oksitosin/500 cc dengan tetesan cepat).
e.       Jika uterus masih juga belum berkontraksi mulai lagi kompresi bimanual interna setelah anda memberikan injeksi metergin dan sudah mulai IV
f.       Jika uterus masih juga belum berkontraksi dalam 5-7 menit, bersiaplah untuk melakukan rujukan dengan IV terpasang pada 500 cc/jam hingga tiba di tempat r ujukan atau sebanyak 1,5 L seluruhnya diinfuskan kemudian teruskan dengan laju infus 125 cc/jam.
Manajemen atonia uteri
a.       Resusitasi
            Apabila terjadi pendarahan postpartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan tranfusi darah.
b.      Masase dan kompresi bimanual
            Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya placenta maksimal 15 detik. Jika uterus berkontraksi maka lakukan evaluasi. Jika uterus berkontraksi namun perdarahan tetap berlangsung, periksa apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi.
c.       Uterotonika
            Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, IM, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rectal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan postpartum ( 5 tablet 200 μg = 1 g ).

d.      Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80 - 90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

2.      Retensio placenta
        Retensio placenta adalah tertahannya placenta atau belum lahirnya placenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir ( Pelayanan  Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178 ).
      Retensio placenta adalah terlambatnya kelahiran placenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi.
            Retensio placenta adalah placenta yang tidak terpisah dan menimbulkan hemorrhage yang tidak tampak dan juga disadari pada lamanya waktu yang berlalu antara kelahiran bayi dan keluarnya placenta yang diharapkan.beberapa ahli klinik menangani setelah 5 menit. Kebanyakan bidan akan menunggu satu setengah jam bagi placenta untuk keluar sebelum menyebutnya untuk tertahan (Varney’s, 2007).

Jenis – jenis retensio placenta :
a.       Placenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion placenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b.      Placenta akreta adalah implantasi jonjot korion placenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
c.       Placenta inkreta adalah implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai / memasuki miometrium.
d.      Placenta perkreta adalah implantasi jonjot korion placenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus .
e.       Placenta inkarserata adalah tertahannya placenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstruksi ostium uteri.

Predisposisi retensio plasenta
a.       Grandemultipara
b.      Bekas operasi pada uterus
c.       Plasenta previa karena dibagian ishmus uterus, pembuluh darah sedikit sehingga perlu masuk jauh kedalam
d.      Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi  plasenta yang sedikit luas
e.       Kasus infertilitas, karena lapisan endometriumnya tipis
Penyebab retensio placenta
a.       Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b.      Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan ( disebabkan karena tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III )
c.       Plasenta melekat  erat pada dinding uterus oleh sebab vili korealis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum ( plasenta akreta-perkreta )
d.      Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta

Gambaran dan dugaan penyebab retensio placenta
Gejala
Separasi / akreta parsial
Plasenta inkarserata
Plasenta akreta
Konsistensi uterus
Kenyal
Keras
Cukup
Tinggi fundus
Sepusat
2 jari bawah pusat
Sepusat
Bentuk fundus
Diskoid
Agak globuler
Diskoid
Perdarahan
Sedang-banyak
Sedang
Sedikit / tidak ada
Tali pusat
Terjulur sebagian
Terjulur
Tidak terjulur
Ostium uteri
Terbuka
Konstriksi
Terbuka
Separasi plasenta
Lepas sebagian
Sudah lepas
Melekat seluruhnya
Syok
Sering
Jarang
Jarang sekali
Tanda dan gejala retensio placenta
            Gejala yang selalu ada adalah plasenta belum lahir dalam 30 menit, perdarahan segera kontraksi uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta). Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera. Gejala yang kadang-kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

Penanganan retensio placenta secara umum
a.       Jika placenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan dan jika merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut
b.      Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika diperlukan lakukan kateterisasi kandung kemih
c.       Jika placenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit 1 M, jika belum dilakukan pada kala III
d.      Jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa memperalmbat pengeluaran placenta
e.       Jika placenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi lakukan penarikan tali pusat terkendali
f.       Jika traksi pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk mengeluarkan plasenta secara manual. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukan koagulapati
g.      Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, secret vagina yang berbau), berikan antibiotik untuk metritis.
Penanganan retensio placenta
a.       Tentukan jenis retensio yang terjaid karena berkaitan dengan tindakan yang di ambil.
b.      Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi coba traksi terkontrol tali pusat.
c.       Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes permenit. Bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri).
d.      Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual palsenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan.
e.       Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan.
f.       Berikan antibiotika profilaksis (ampisislin 2 g IV / oral + metronidazole 1 g supositoria/oral).
g.      Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.

3.      Perlukaan jalan lahir
      Perlukaan jalan lahir merupakan perlukaan yang terjadi pada jalan lahir saat atau setelah terjadinya persalinan yang biasanya ditandai oleh perdarahan pada jalan lahir.
Perlukaan jalan lahir karena prsalinan dapat mengenai vulva, vagina, dan uterus. Janis perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang disertai perdarahan hebat. (Prawirohardjo S, 2008: 409)
a.       Robekan perineum
      Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Biasanya robekan perineum terjadi pada :
·         Kepala janin terlalu cepat lahir
·         Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
·         Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan perut
·         Pada persalinan dengan distosia bahu

Robekan perineum dibagi menjadi 3 bagian :
·         Tingkat I : robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenal kulit perineum sedikit
·         Tingkat II : robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput lendir vagina juga mengenai muskulus perineum transversalistapi tidak mengenai sfinkter ani
Jika ada pinggir yang bergerigi atau tidak rata, maka pinggir itu harus diratakan terlebih dahulu. Mula – mula otot dijahit dengan cagut kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan cagut secara terputus- putus atau jelujur. Penjahitan dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit secara terputus – putus
·         Tingkat III : robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot- otot sfingter ani
Mula – mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia reptu rektovaginal dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali
Robekan perineum terbagi atas 4 derajat :
·         Derajat I  : mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum
·         Derajat II : mukosa vagina, fauchette posterior, kutit perineum, otot perineum
·         Derajat III : mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot perineum, otot spinter ani eksterna
·         Derajat IV : mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, oto perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rectum anterior

b.      Robekan serviks
      Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9 bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem fenster  kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
Robekan serviks dapat terjadi karena :
·         Partus presipitatus
·         Trauma karena pemakaian alat – alat operasi
·         Melahirkan kepala janin pada letak sunsang secara paksa padahal pembukaan serviks uteri belum lengkap
·         Partus lama. Dimana telah terjadi serviks edem, sehingga jaringan serviks sudah menjadi rapuh dan mudah robek.
Teknik menjahit robekan serviks
·         Pertama – tama pinggir robekan sebelah kiri dan kanan dijepit dengan klem sehingga perdarahan menjadi berkurang dan berhenti
·         Kemudian serviks ditarik sedikit sehingga lebih jelas kelihatan dari luar
·         Setelah itu robekan dijahit dengan catgut khromik no 00 atau 000. Jahitan dimulai dari ujung robekan dengan cara jahitan terputus – putus atau jahitan angka delapan
·         Pada robekan yang dalam jahitan harus dilakukan lapis demi lapis

c.       Rupture uteri
      Rupture uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada rupture uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
      Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salah satu diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.
      Gejala rupture uteri yaitu hs kuat dan terus menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah / takut, nadi dan pernapasan cepat. Setelah itu dijumpai gejala syok, perdarahan, pucat, tekanan darah turun

Jenis rupture uteri
·         Rupture uteri spontan : terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada waktu persalinan yaitu pada kelainan letak dan presentasi janin, panggul smepit, kelainan panggul, tumor jakan lahir.
·         Rupture uteri traumati
·         Terjajadi karena ada dorongan pada uterus misalnya fundus akibat melahirkan dengan cunam, manual palcenta
·         Rupture uteri jaringan parut: terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti bekas SC
·         Pembagian menurut anatomic
Ruptur uteri komplit : dimana dinding uterus robek, lapisan serosa ( peritoneum ) robek sehingga janin dapat berada dalam rongga perut
Ruptur uteri inkomplit : dinding uterus robek tapi lapisan serosa tetap utuh

Penanganan pada ruptu uteri :
·         Melakukan laparatomi. Sebelumnya penderita diberi transfuse darah sekurang – kurangnya infuse RL untuk mencegah syok hipovolemik
·         Umumnya histerektomi dilakukan setelah janin yang berada didalam rongga perut dikeluarkan. Penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus – kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segar dan rata serta tidak terlihat adanya tanda – tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang rapuh dan nekrosis.

B.     Tindakan _ tindakan kala III
1.      Kompresi bimanual interna
      Kompresi Bimanual Interna adalah tangan kiri penolong dimasukan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain di belakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang antara 2 tangan antara lain, yaitu tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.
Langkah – langkah :
·         Pakai sarung tangan DTT atau steril dengan lembut masukkan secara obstetric ( menyatukan kelima ujung jari ) melalui introitus dan ke dalam vagina kemudian periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh
·         Setelah seluruh tangan telah masuk, kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding uterus kea rah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus kea rah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang
·         Tekan kuat uterus diantara kedua tangan, kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang tebuka ( bekas implantasi placenta ) di dinding uterus dan juga merangsang myometrium untuk berkontraksi
·         Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior tekan dinding anterior uterus ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus kearah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan dan belakang


2.      Kompresi bimanual eksterna
      Kompresi bimanual eksterna merupakan tindakan yang efektif untuk mengendalikan perdarahan misalnya akibat atonia uteri. Kompresi bimanual ini diteruskan sampai uterus dipastikan berkontraksi dan perdarahan dapat dihentikan. Ini dapat di uji dengan melepaskan sesaat tekanan pada uterus dan kemudian mengevaluasi konsistensi uterus dan jumlah perdarahan. Penolong dapat menganjurkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksanaan atonia uteri.
Langkah – langkah:
·         Letakan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan corpus uteri dan diatas simpisis pubis
·         Letakan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang corpus uteri sejajar dinding depan corpus uteri. Usahakan untuk mencakup atau memegang bagian uterus seluas mungkin
·         Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuluh darah dalam anyaman myometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk berkontraksi

3.      Kompresi aorta
Langkah – langkah :
·         Baringkan ibu diatas ranjang, penolong menghadap sisi kanan pasien. Atur posisi penolong sehingga pasien berada pada ketinggian yang sama dengan pinggul penolong.
·         Tungkai diletakkan pada dasar yang rata (tidak memakai penopang kaki) dengan sedikit fleksi pada artikulasio koksae.
·         Raba pulsasi arteri femoralis dengan jalan meletakkan ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanan pada lipat paha yaitu pada perpotongan garis lipat paha dengan garis horisontal yang melalui titik 1 cm diatas dan sejajar dengan tepi atas simfisis ossium pubis. Pastikan pulsasi arteri teraba dengan baik.
·         Setelah pulsasi dikenali, jangan pindahkan kedua ujung jari dari titik pulsasi tersebut.
·         Kepalkan tangan kiri dan tekankan bagian punggung jari telunjuk, tengah, manis dan kelingking pada umbilikus ke arah kolumna vertebralis dengan arah tegak lurus.
·         Dorongan kepalan tangan kanan akan mengenai bagian yang keras di bagian tengah/ sumbu badan ibu dan apabila tekanan kepalan tangan kiri mencapai aorta abdominalis maka pulsasi arteri femoralis (yang dipantau dengan ujung jari telunjuk dan tengah tangan kanan) akan berkurang/ terhenti (tergantung dari derajat tekanan pada aorta).
·         Perhatikan perubahan perdarahan pervaginam ( kaitkan dengan perubahan pulsasi arteri femoralis )
Perhatikan :
a)      Bila perdarahan berhenti sedangkan uterus tidak berkontraksi dengan baik, usahakan pemberian preparat prostatglandin. Bila bahan tersebut tidak tersedia atau uterus tetap tidak dapat berkontraksi setelah pemberian prostatglandin, pertahankan posisi demikian hingga pasien dapat mencapai fasilitas rujukan.
b)      Bila kontraksi membaik tetapi perdarahan masih berlangsung maka lakukan kompresi eksternal dan pertahankan posisi demikian hingga pasien mencapai fasilitas rujukan.
c)      Bila kompresi sulit untuk dilakuakan secara terus menerus maka lakukan pemasangan tampon padat uterovaginal, pasang gurita ibu dengan kencang dan lakukan rujukan.
d)     Kompresi baru dilepaskan bila perdarahan berhenti dan uterus berkontraksi dengan baik. Teruskan pemberian uterotonika
·         Bila perdarahan berkurang atau berhenti, pertahankan posisi tersebut dan lakukan pemijatan uterus (oleh asisten) hingga uterus berkontraksi dengan baik.

4.      Manual placenta
      Plasenta manual adalah tindakan untuk melepas plasenta secara manual (menggunakan tangan) dari tempat implantasinya dan kemudian melahirkannya dari cavum uteri.
Langkah – langkah
·         Persiapan: pasang set dan cairan infuse. Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan, lanjutkan anastesia verbal atau analgesia per rektal, siapkan dan jelaskan prosedur pencegahan infeksi
·         Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri: pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong, jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai
·         Secara obstetrik masukkan tangan lainnya ( punggung tangan menghadap ke bawah ) kedalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat, setelah mencapai bukaan serviks, kemudian minta seorang asisten / penolong lain untuk memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus
·         Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan kedalam hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta. Bentangkan tangan obstetric menjadi datar seperti memberi dalam (ibu jari merapat ke jari  telunjuk dan jari-jari lain merapat), tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta paling bawah. Bila plasenta berimplentasi di korpus belakang, tali pusat tetap disebalah atas dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke bawah (posterior ibu).
·         Bila di korpus depan maka pindahkan tangan kesebalah atas tali pusat dan sisipkan ujung jari-jari tangan diantara plasenta dan dinding uterus dimana punggung tangan menghadap ke atas (anterior ibu), setelah ujung-ujung jari masuk diantara palsenta dan dinding uterus maka perluasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke tangan kiri sambul geserkan ke atas (cranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus
·         Sementara satu tangan masih didalam kavum uteri lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang tertinggal
·         Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simpisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian intruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan membawa plasenta keluar (hindari adanya percikan darah)
·         Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan supra simpisis) uterus ke arah dorso kranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plasenta dalam wadah yang telah disediakan.
·         Lakukan tindakan pencegahan infeksi dengan cara dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang digunakan, lepaskan dan rendam sarng tangan dan peralatan lainnya didalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit, cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering
·         Lakukan pemantauan pasca tindakan, pastikan tanda vital ibu, catat kondisi ibu, dan buat laporan tindakan, tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan lanjutan, beritahukan pada ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai tapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan, lanjutan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan sebelum pindah ke ruang rawat gabung
Catatan :
a)       Bila tepi plasenta tidak teraba atau plasenta berada pada dataran yang sama tinggi dengan dinding uterus maka hentikan upaya plasenta manual karena hal itu menunjukkan plasenta inkreta (tertanam dalam miometrium).
·         Bila hanya sebagian dari implantasi plasenta dapat dilepaskan dan bagian lainnya melekat erat maka hentikan pula plasenta manual karena hal tersebut adalah plasenta akreta. Untuk keadaan ini sebaiknya ibu diberi uterotonika tambahan (miso[rostol 600 mcg per rektal) sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar